May 25, 2019

Malam ini tampak biasa.

Seingat Hana hampir setahun yang lalu, ia pernah berada dimalam seperti ini. Tapi, mau berulang ribuan kali pun, malam ini tidak tampak biasa untuk Hana.

Hana menghela nafas berat, sesekali membenturkan kepalanya ringan ke sandaran bangku meja makan. Sambil memejamkan mata, ucapan Arya sore itu terdengar kembali ditelinganya,

i cant stand with this bullsh*t

Sudah hampir 3 minggu Arya tidak seperti biasa. Bagi Hana, 3 minggu itu waktu yang cukup lama untuk ia terpaksa memaklumi hawa dingin dirumah mereka dan ucapan keras Arya yang tidak biasa. Sudah berkali-kali pertanyaan "kenapa" dengan berbagai intonasi terucap dari mulut Hana untuk Arya. Sampai detik malam ini pun, Hana masih ingin mengulang pertanyaan itu lagi dan lagi sampai apa yang Arya jawab dapat meredam keresahannya.
Masih ditempat yang sama, dimana sore tadi Hana dan Arya saling berteriak, beradu mulut tanpa titik temu. Mereka berhenti tepat setelah Arya melempar cangkir teh itu hingga terjatuh dibawah kaki Hana. Masih terekam di kepala Hana, terngiang suara keras Arya.
Hana berpaling dari sandaran bangku meja makan itu, tangannya bersandar dimeja sembari menutup wajah dan seketika air mata yang sudah 3 minggu lamanya dipendam, mengalir deras tanpa aba-aba. Kini hanya satu pertanyaan yang ada dibenaknya, setelah mendengar kata terakhir Arya tadi sore, semua rasa bimbang, khawatir, sesak dan perasaan yang tidak Hana suka ini, are those bullsh*t?.

*********

Tangan Arya menggenggam erat kemudi, mobil hitamnya melaju cepat diatas rata-rata. Arya tidak tau harus kemana ia mengemudikan mobilnya, yang ia sangka hanya mungkin emosinya  bisa berkurang dengan semakin jauh jarak antara dirinya dan rumah. Pikiran Arya kacau, acak tidak karuan. Beberapa kali dirinya terhasut oleh emosi dan rasa letih yang baru terasa saat Hana berkali-kali menuturkan pertanyaan itu dengan intonasi yang menurut Arya, sangat berlebihan.

Mobilnya masih melaju cepat, namun bukan suara mesin yang terngiang dikuping Arya. Semakin dalam Arya menginjak pedal gas mobilnya, semakin jelas kata-kata terakhir Hana yang Arya dengar tepat sesaat ia melempar cangkir teh itu,

Kamu gak bisa bikin aku tenang

*********

Malam ini bukan malam biasa untuk Arya. Kalau orang bilang boleh memilih, bahkan malam seperti ini tidak ada dipilihan Arya. Sudah 3 minggu pikiran dan raganya terkuras untuk pekerjaan diluar rumah. Pertanyaan bertubi-tubi Hana, sangat menjengkelkan. Bukannya Arya tidak bisa menjawab, namun bagi Arya, ada beberapa pertanyaan yang rasanya konyol untuk dipertanyaan, apalagi untuk dijawab.  Ditambah jika pertanyaan Hana berubah menjadi selipan tuduhan untuknya. Sudah 9 tahun Arya dan Hana bersama. Bagi Arya, 9 tahun bukan durasi yang tepat untuk masih mempertanyakan sesuatu yang terdengar sangat berlebihan untuk dirinya.
Masih dengan emosi yang kalut, pikiran Arya tertuju pada kalimat terakhir Hana tadi sesaat setelah cangkir itu jatuh. Ditengah mobil yang melaju cepat, hanya satu hal yang berputar dikepalanya, untuk 9 tahun lamanya ia terpaut dengan Hana, aku harus apa lagi?

***********

Hana masih mengusap air matanya yang masih saja ada. Sambil menoleh, Hana memandang sebuah figura hitam yang tergantung disamping meja makan itu. Hana dengan gaun putih dan anting mutiara pinjaman Oma, terlihat tertawa dengan mata yang hampir terpejam, disampingnya Arya dengan setelan jas tersenyum tipis merangkul dan menatap Hana dengan tatapan dalam. Momen itu terekam oleh sang fotografer, membuat detik yang sederhana itu menjadi kekal dan sangat berarti untuk Hana, yang Hana harap, juga bagi Arya.

Seketika memori Hana berputar, kembali ke suatu malam 5 tahun lalu, disaat sudah 4 hari dirinya resah tidak nafsu makan. Malam itu, Arya mengetuk pintu rumah Hana setelah 4 hari ia mendaki gunung. Masih dengan boots Salomon GTX yang penuh lumpur dan ransel merah 35 liter dipunggung Arya, mereka berpelukan untuk beberapa saat, cukup lama, yang mereka tau pelukan itu cukup lama hingga keresahan Hana dan keletihan Arya selama 4 hari itu luntur berubah menjadi rasa yang nyaman.

Gak enak rasanya kalo gak ada kabar, jangan naik gunung lagi ya

Hana masih memeluk Arya saat itu

Yang Hana ingat, saat itu Arya hanya membalas dengan tepukan di kepalanya sambil berkata,

Iya gak enak emang. tapi kan pulangnya ke kamu.
Boleh ya naik gunung lagi?

Hana masih ingat betul senyum kecil Arya yang menyebalkan saat itu.

yaudah boleh. tapi aku ikut

Yang Hana juga ingat, setelah itu pelukan mereka semakin erat, sampai malam ini pun, dengan hanya mengingat, seperti terasa rasa hangat dan wangi khas Arya favorit Hana yang anehnya masih Hana suka saat itu meskipun Arya masih dengan boots yang penuh lumpur dan pakaian yang sama dari 3 hari sebelumnya.
**********

Mobil Arya kini berjalan perlahan, berhenti di pinggir danau kecil yang sepertinya sengaja ada untuk mengingatkan Arya bahwa ia sudah cukup jauh dari rumahnya. Masih dengan kepalan tangan di kemudi, Arya menunduk meletakkan kepalanya dan memejamkan mata sesekali menarik nafas berat. Matanya kini tertuju diselembar kertas post-it kecil yang sudah lama ia biarkan tertempel di sebelah audio mobilnya,dalam kertas itu tertulis sebuah pesan,

Channel 5 supaya gak ngantuk! 

Sambil melepaskan kertas kecil itu, Arya terus tertegun memandang kertas yang kini ditangannya. Menyalakan radio channel 5 yang seketika memutar musik thrash metal khas slayer yang tidak karuan. Entah mengapa, Arya refleks tersenyum sedikit, sambil melihat kembali ke kertas dengan tulisan tangan khas Hana, ditangannya.

Arya kembali tertegun dan terasa sesak makin menjalar perlahan hingga terasa di lehernya, rasa bersalah yang kini mencekik itu sulit Arya tahan. Namun seketika memori Arya berputar kembali ke sebuah petang di awal bulan Mei 6 tahun yang lalu, sebuah scene yang tanpa Arya berusaha mengingat, sudah otomatis terputar jika ia mau. Sore itu, didalam mobil hitam Arya, Hana menangis sejadi-jadinya. Arya masih ingat rasa bingung duduk terpaku disebelah Hana yang terus menangis. Arya masih ingat saat ia ragu-ragu mengusap kepala Hana sembari memberikan tissue. Sore itu tepat ulang tahun Arya dan untuk pertama kali Hana dan Arya bisa bersama pada tempat yang sama dihari spesial salah satu diantara mereka. Sore itu sudah jauh-jauh hari disiapkan oleh Hana. Dari 2 bulan sebelumnya, restoran favorit Arya yang kebetulan sangat merepotkan dengan jumlah waiting list yang tidak pernah sepi, sudah Hana booking untuk makan malam mereka. 2 tiket pertandingan basket favorit Hana dan Arya juga sudah ia beli untuk malam itu. Sore itu, sore yang seharusnya berjalan rapih sesuai apa yang Hana mau, berakhir dengan tangisan didalam mobil Arya. Tepat 2 jam sebelum makan malam, restoran favorit Arya ditutup untuk umum demi menyambut artis luar negeri yang sampai sekarang Hana benci setengah mati. Tidak lama dari itu, pertandingan basket favorit mereka terpaksa dibatalkan tanpa alasan logis apapun. Sore itu berakhir didalam mobil Arya, tanpa tujuan.

Arya masih ingat tangisan Hana sore itu, Arya paham betul Hana yang perfeksionis dalam segala hal terpaksa menerima kecewa. Arya paham betul betapa kacaunya emosi Hana saat itu. Arya masih ingat juga seberapa bingung ia memutar otak untuk memikirkan sesuatu yang bisa mengembalikan senyuman Hana saat itu.

Makan es krim aja yuk

Gak

Terus aku harus apa dong? 

Arya masih ingat pertanyaan yang ia lontarkan itu. Arya ingat Hana hanya menaikan pundaknya seraya menunjukan bahwa ia tidak tahu

Dengan keadaan yang masih bingung, Arya tanpa pikir panjang,  merangkul dan memeluk Hana erat, tanpa sepatah katapun. Arya ingat saat itu Hana berhenti menangis. Arya ingat detik itu mendengar kembali suara lembut Hana yang samar akibat pelukannya yang kelewat keras,

Ini kamu tau kok harus apa, makasih ya 

Malam itu didalam mobil hitam Arya, ia kembali bisa merasakan lembutnya rambut Hana yang menyentuh pipinya. Yang Arya tau saat itu, pelukan Hana sudah lebih dari cukup untuk hari ulang tahunnya dibandingkan restoran atau pertandingan basket favoritnya atau apapun itu.

*********

Hana mengusap air matanya, memori itu seperti membantu Hana mengendalikan emosi dan menata pikirannya.  Hana tau memang pertanyaan bertubi-tubi darinya sangat menjengkelkan, Hana tau sikap dingin Arya selama 3 minggu lalu bukan karena sesuatu yang berkurang dari diri Arya untuknya. Hana bangkit dari kursi itu berlari menuju kamarnya, menarik jaket dan kembali berlari keluar membuka pintu rumahnya. Tangan kiri hana menggenggam telfon, menekan nama pertama dalam daftar panggilan, Arya.

**********

Arya tertegun menatap jok kosong disampingnya. Tanpa perpikir panjang Arya memutar balik mobilnya, melaju kencang menekan pedal gas kembali menuju rumah.

***********

Kring Kring

Tepat setelah 3 nada sambung, suara ponsel yang tidak asing juga terdengar dikuping Hana dari kejauhan. Sambil berjalan menuju pagar, mobil hitam baru saja berhenti tepat didepan pagar, Arya yang keluar dari mobil itu merogoh ponselnya yang masih berdering. Nada dering itu akhirnya berhenti sesaat Hana menutup panggilan diponselya.

Mereka saling menatap untuk beberapa detik.

Arya mendekat dan menarik lengan Hana diikuti pelukan kencang yang Hana balas dengan cuma-cuma. Keduanya masih berpelukan dengan mata yang terpejam untuk menahan air mata yang ternyata sudah terlanjur jatuh.

Dalam masing-masing pelukan, dari mulut keduanya hanya satu kata yang terlontar bersamaan tanpa penyesalan apapun,

Maaf

Membuat malam yang tadinya tidak biasa itu, menjadi lebih hangat dan nyaman untuk Arya dan Hana.

******* end *********

PS.
It always hard for me to give my view when there's a conversation about marriage. First, i'm not married yet and second, because i think, marriage is one of the complicated and 'sacred' topics that require us to have wide perspective and tolerance. This story is dedicated for all of the married couple with their ordinary marriage life who always keep fighting for each other.I truly adore you both.

No comments: