Tepat pukul delapan pagi, kereta Dara menuju tempat singgahnya kelak mulai melaju. Mesin-mesin bergerak sesuai kodrat mereka, perlahan menuntun keretanya sesuai jalur semestinya menuju tempat itu. Hari sedang cerah saat itu. Dara termenung, menopang dagu, menatap melalui jendela yang lusuh dan tidak lagi baru. Menatap awan menggumpul seperti kumpulan kumpulan kapas putih raksasa. Dara mempersilahkan imajinasinya, menerka nerka bentuk awan yang menyerupai bentuk apapun sesuka hatinya. Seperti seekor kuda. tidak, tetapi 2 ekor kuda. Mereka saling barlari sehingga melambai pula rambut-rambut kepala mereka. Seketika teringat suatu malam di masa dahulu. Rangga. Lelaki yang berhasil masuk ke relung kehidupannya dan seenaknya mencuri akal sehatnya. Senyuman rangga tersibak dan mulai terlihat di langit itu disamping 2 ekor kuda ciptaan Dara. “Apa rasanya dulu ?” dalam benak Dara terbesit getaran yang dulu menghantuinya. Ingatan itu menjadi memori kekal yang dapat Dara putar jika ia mau. Belajar dari seorang Rangga. Dimana Dara belajar melihat dua sisi dan berhenti memikirkan nafsu manusiawi nya, menjadi sebuah pecahan kaca yang kelak sesuai dengan sisi pecahan kaca seorang Rangga. Dara berkedip pelan, bibirnya yang tipis memunculkan senyuman tulus yang ia sendiri tidak paksa untuk muncul. “Ah..Rangga..”
Kereta terus melaju membelah dua bukit hijau dan tumpukan batuan lapuk. Kumpulan awan itu berubah abu-abu sekarang, 2 ekor kuda itu hilang. Mungkin berlari menuju matahari atau terkikis dan berubah menjadi rintikan hujan. Awan mulai berubah lebih kelabu, menggulung lebih cepat dan Dara dapat rasakan desiran angin hujan yang masuk lewat sela-sela jendela menuju tekuk lehernya. Tepat tanggal 9 semua terulang. Rangga tidak lagi bisa ada untuk dirinya. Hari itu menjadi hari dimana rasanya jatuh dalam sebuah palung, hilang. Raga tak lagi sanggup menopang jiwa yang terlampau jatuh. Entah apa yang menghubungkan otak, hati dan rasa. Disaat semuanya berkolerasi membuat rasa sakit di dada. Masih sampai detik itu Dara dapat rasakan. Gerakan bibir Rangga mengucap kata-kata yang cukup membuat hatinya meronta. Rangga tidak lagi ada untuk dara. “Kenapa ?” hanya itu yang ada di benaknya. Dara bukan seseorang. Rangga memang dikelilingi wanita. Berbeda dengan diri dara. Sebuah identitas dara dibentuk dari seorang Rangga. Namun Rangga, entah dari siapa identitasnya terbentuk. Bisa dari wanita itu, atau yang lain atau yang satunya. Langit mulai menurunkan rintikan hujan berubah deras. Kereta masi terus melaju melawan hujan. Coretan air hujan membekas di jendela. Seperti hati dara tercoret irisan merasakan dirinya dihempaskan. Dara sadar. Ia tak pernah tau apa arti dirinya untuk Rangga. Dan persetan dengan hal itu. Hari itu satu cinta yang sudah berjuang tumbuh, terhempaskan dan jatuh ke lantai.
Kereta melaju. Suara hujan memenuhi gerbong tempat dara termenung menatap ke arah luar. Tiba-tiba diam, hening dan gelap. Sebuah terowongan berhasil menghentikan hujan. Dingin lembab dapat dara rasakan. Rasanya lebih dingin dari angin hujan. Dara tetap menatap keluar. Melihat seorang wanita berkulit putih dengan rambut terikat berantakan, bibir tipis dan mata bulat yang terlihat lelah. Dirinya. Jendela gelap membuat apa yang dapat dilihat Dara hanyalah pantulan wajahnya. Sesekali berkedip. “Siapa aku ?” banyak pertanyaan sejak hari itu di pikiran Dara, ya khususnya untuk Rangga. Apa yang membuat kisah mereka terhenti dan bertemu dengan 2 jalan terpisah. Dara terus menatap pantulan matanya. Bukan dia mungkin pecahan yang cocok untuk Rangga. Apa iya sebuah takdir ? tapi apa arti dari “cinta adalah perjuangan” disaat kita harus terhenti oleh yang kita terka adalah sebuah takdir ? Cinta bukan topik yang dara sukai sesungguhnya. Topik ini pelik. Membuat dirinya tersadar, menatap lagi ke arah wajahnya. Apa Dara sendiri mencintai dirinya ?
Pantulan wajahnya hilang, tergantikan cahaya matahari sehabis hujan. Pandangan Dara kini menatap butiran air sisa hujan yang menempel di jendela, memantulkan cahaya indah dari matahari sehabis hujan. Terowongan itu cukup panjang nampaknya untuk membawa Dara ke tempat yang lebih cerah kini. Batinnya seperti dibangunkan dari kekosongan. Tiada yang lebih Dara suka dari matahari sehabis hujan. Membawa semangat yang bisa Dara gapai sesuka hatinya. Dara menoleh ke depan meninggalkan jendela yang selama ini ditatapnya. Dara memejamkan mata. Bersyukur atas Rangga.
Kereta mulai berjalan pelan. Berjalan pelan memasuki bangunan stasiun berlantai merah. Berhenti di tempat Dara seharusnya berhenti. Helaan nafas Dara terdengar di telinganya. Hiruk pikuk orang disekitar stasiun itu memenuhi gerbong. Dara menatap ke arah jendela kembali. Tidak ada lagi sosok disana. Tidak ada lagi yang tersenyum menunggunya pulang. Kursi tunggu itu kosong kini. Dara menatapnya beberapa detik mencoba membayangkan seorang sosok dulu yang menunggunya tepat di kursi itu. Suara Bel stasiun membuyarkan imajinasinya. Membangunkan jiwanya. Dara bergegas meninggalkan gerbong itu. Sebelum Dara pergi ketempat seharusnya ia pergi, ia menuju kursi kosong itu dan berhenti. “biarkan aku sejenak disini mengingat kamu, Rangga..”
Bekasi, 10 Januari 2012.
--perjalanan saya ke jogja-solo kemarin, bikin saya bernafsu membuat cerpen tentang perjalanan kereta api. jadi deh cerpen ini. semoga suka ya kalian !
No comments:
Post a Comment